Bromo Bukan Sekadar Nama
Nama “Bromo” berasal dari kata “Brahma”, salah satu dewa utama dalam ajaran Hindu. Ini bukan tanpa sebab, karena kawasan ini memang kental dengan budaya Hindu yang masih dijaga dengan teguh oleh masyarakat Tengger.
Gunung ini bukan hanya tempat wisata, tetapi juga lokasi suci yang menyimpan warisan spiritual dan budaya berusia ratusan tahun. Di balik kabut dan kawahnya yang misterius, tersimpan cerita tentang sepasang suami istri yang memohon berkah dari langit demi garis keturunan dan harus membayar mahal atas janji yang mereka buat.
Kisah Rara Anteng dan Joko Seger
Zaman dahulu, ketika tanah Jawa masih diselimuti hutan lebat dan gunung-gunung menjulang tinggi bak penjaga langit, hiduplah seorang putri cantik bernama Rara Anteng, keturunan bangsawan dari Kerajaan Majapahit.
Ia dikenal tak hanya karena parasnya yang jelita, namun juga karena kelembutan dan kebijaksanaannya. Di sisi lain, ada seorang pemuda sederhana bernama Joko Seger, yang berasal dari keluarga biasa namun memiliki hati yang murni dan jiwa pemberani.
Cinta antara Rara Anteng dan Joko Seger tumbuh seperti benih yang menyerap cahaya matahari dan tetesan embun pagi. Keduanya akhirnya menikah, dan memutuskan menetap di wilayah pegunungan Tengger. Mereka hidup bahagia, namun ada satu kekosongan yang terus membayangi hari-hari mereka: mereka tidak kunjung dikaruniai anak, meski telah bertahun-tahun membina rumah tangga.
Baca Juga:
Permohonan di Puncak Gunung

Demi memperoleh keturunan, Rara Anteng dan Joko Seger pun memutuskan untuk melakukan semedi dan berdoa di puncak gunung. Mereka berserah diri kepada Sang Hyang Widhi, memohon agar diberi anak, bahkan bersedia melakukan apa pun jika doa mereka dikabulkan.
Dalam kesunyian kabut pegunungan, terdengarlah bisikan gaib bahwa mereka akan diberi 25 orang anak, namun dengan satu syarat: anak terakhir harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo sebagai bentuk janji kepada para dewa.
Dengan berat hati, pasangan itu menyanggupi syarat tersebut. Waktu berlalu, dan benar saja, Rara Anteng akhirnya mengandung dan melahirkan satu per satu anak hingga jumlahnya mencapai 25. Anak-anak mereka tumbuh sehat dan kuat, dan keluarga itu pun dikenal sebagai pelindung tanah Tengger.
Namun saat waktu menagih janji tiba, hati orangtua itu mulai goyah.
Janji yang Diingkari dan Amarah Gunung
Anak ke-25 yang bernama Raden Kusuma adalah anak yang paling mereka sayangi. Mereka tak tega menyerahkan sang putra bungsu ke dalam kawah. Maka, janji pun diingkari.
Gunung Bromo, yang selama ini tenang, mulai menunjukkan amarahnya. Langit berubah kelam, gemuruh mengguncang bumi, dan kawah menggelegak. Raden Kusuma, sang anak terakhir, menyadari bahwa nasibnya adalah bagian dari takdir. Dengan penuh keberanian, ia melangkah ke bibir kawah dan menyerahkan dirinya sebagai korban, demi keselamatan rakyat dan keluarganya.
Sebelum lenyap ditelan kawah, Raden Kusuma sempat mengucapkan pesan terakhir agar masyarakat Tengger selalu mengadakan upacara dan sesaji kepada Gunung Bromo setiap tahun, sebagai pengingat akan pengorbanan dan janji kepada alam.
aka sejak saat itu, lahirlah ritual Yadnya Kasada upacara suci yang hingga kini masih dilakukan oleh masyarakat Tengger. Di mana sesaji berupa hasil bumi dilemparkan ke dalam kawah Bromo sebagai bentuk syukur dan penghormatan kepada leluhur.
Manfaatkan juga waktu anda untuk mengeksplorasi lebih banyak lagi informasi viral terupdate lainnya hanya di storydiup.
Sumber Informasi Gambar:
- Gambar Utama dari poskata.com