Sejarah Keraton Yogyakarta, Pusat Kekuasaan Budaya Masyarakat Jawa
Keraton Yogyakarta, juga dikenal sebagai Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, adalah pusat kebudayaan yang memiliki kedudukan penting dalam sejarah Indonesia.
Didirikan pada tahun 1755, keraton ini bukan hanya sekadar istana kerajaan tetapi juga merupakan simbol dari kesultanan Yogyakarta dan warisan budaya Jawa. CERITA’YOO akan menguraikan sejarah Keraton Yogyakarta, termasuk latar belakang pendiriannya, perkembangan keraton, peran dalam konteks kolonial, serta signifikansinya dalam sejarah modern Indonesia.
Latar Belakang Sejarah
Sejarah Keraton Yogyakarta tidak dapat dipisahkan dari kisah Kesultanan Mataram yang lebih luas. Mataram, yang pernah menjadi kerajaan besar di Jawa, mengalami kemunduran pada abad ke-17 akibat serangkaian konflik internal dan tekanan dari pihak Belanda melalui Kompeni Belanda (VOC).
Setelah kematian Sultan Agung pada tahun 1645, kekuasaan Mataram mulai terfragmentasi, yang mengakibatkan perpecahan daerah menjadi dua kesultanan, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, melalui Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada tahun 1755.
Perjanjian ini dihasilkan dari konflik yang berkepanjangan antara para pewaris Mataram dan intervensi Belanda. Perjanjian tersebut membagi kekuasaan Mataram menjadi dua bagian: Yogyakarta di bawah kepemimpinan Pangeran Mangkubumi yang kemudian dikenal sebagai Sultan Hamengkubuwono I, dan Surakarta di bawah pengaruh VOC.
Pembangunan Keraton Yogyakarta dimulai segera setelah perjanjian tersebut, menandai lahirnya kesultanan baru di Yogyakarta yang berfokus pada pelestarian budaya dan kekuasaan lokal.
Pendirian Keraton
Pembangunan Keraton Yogyakarta dimulai segera setelah pengesahan Perjanjian Giyanti. Sultan Hamengkubuwono I memilih lokasi strategis di bekas hutan Paberingan, yang terletak di antara Sungai Winongo dan Sungai Code.
Lokasi ini tidak hanya memberikan perlindungan dari banjir tetapi juga memiliki makna spiritual, karena berkaitan dengan kosmologi Jawa, di mana keraton dibangun menghadap ke utara, menuju Gunung Merapi, dan selatan, menghadap ke Laut Selatan.
Keraton ini dirancang untuk menjadi simbol kekuasaan dan peradaban Jawa, dengan elemen arsitektur yang mencerminkan filosofi Javanese. Setiap sudut dan bangunan dalam keraton dibangun berdasarkan prinsip-prinsip samban (dari selatan), tata ruang, dan kepercayaan yang berakar dalam tradisi Javanese.
Arsitektur keraton memperlihatkan gabungan antara elemen tradisional dan pengaruh asing, termasuk elemen dari budaya Belanda dan Inggris yang mulai berkembang di Indonesia pada era kolonial tersebut.
Baca Juga: Perjalanan Seorang Pahlawan Lokal: Membangun Komunitas
Arsitektur dan Desain Keraton
Keraton Yogyakarta adalah contoh arsitektur tradisional Jawa yang sangat dihormati. Tata letak keraton mengikuti filosofi kosmologi yang mendalam, di mana setiap bangunan memiliki tujuan yang diarahkan untuk menciptakan harmoni antara dunia manusia dan dunia spiritual. Kompleks ini memiliki beberapa bagian penting, termasuk:
- Kedhaton: Ini adalah area residence Sultan dan keluarganya, yang memiliki arsitektur paling megah dalam keraton.
- Alun-Alun: Dua alun-alun, Alun-Alun Lor di utara dan Alun-Alun Kidul di selatan, berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat, sering kali dipenuhi dengan festival dan acara publik.
- Kompleks Pagelaran: Digunakan untuk mengadakan upacara resmi dan kegiatan publik, di mana sultan akan berinteraksi dengan rakyatnya.
Setiap elemen dalam keraton adalah simbol dari nilai-nilai filosofis dan kebudayaan Jawa. Misalnya, gerbang masuk keraton biasanya dihiasi dengan ornamen yang menunjukkan status dan pejabat kerajaan. Penataan bangunan yang berorientasi pada Gunung Merapi dan Laut Selatan banyak dirujuk dalam berbagai ritual dan upacara kemasyarakatan yang berlangsung di keraton.
Peran dalam Kolonialisme
Seiring berjalannya waktu, Keraton Yogyakarta menjadi terpisah dari kekuasaan Mataram yang lebih besar. Pada era kolonial, keraton beradaptasi dengan tantangan yang diberikan oleh VOC dan kemudian pemerintah kolonial Belanda.
Sultan Hamengkubuwono II dan III berjuang untuk mempertahankan otonomi mereka meskipun terpaksa berkompromi dengan VOC yang semakin kuat. Pada tahun 1812, keraton diserang oleh pasukan Inggris di bawah kepemimpinan Sir Stamford Raffles, yang mengakibatkan penjarahan dan kerusakan serius di kompleks keraton.
Namun demikian, keraton berhasil dibangun kembali dan terus berfungsi sebagai simbol dari kekuasaan dan identitas Jawa. Sultan Hamengkubuwono IX, yang memerintah selama masa kemerdekaan, memainkan peran penting dalam transisi menuju republik.
Dia mendukung gerakan kemerdekaan dan membuat keraton sebagai pusat strategi bagi perlawanan rakyat terhadap penjajahan Belanda. Yogyakarta bahkan berfungsi sebagai ibu kota Indonesia di tahun-tahun awal kemerdekaan, dari 1946 hingga 1948, selama masa revolusi yang terjadi di seluruh negeri.
Transisi ke Modernitas
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, peran Keraton Yogyakarta terus berlanjut meskipun dalam bentuk yang berbeda. Keraton tidak hanya berfungsi sebagai institusi kerajaan, tetapi juga sebagai simbol kekayaan budaya dan identitas Yogyakarta.
Dalam konteks modern, keraton telah secara efektif beradaptasi dengan perubahan zaman. Tetap menjaga tradisi sambil berintegrasi dalam masyarakat yang semakin maju dan beragam. Sultan Hamengkubuwono X, sebagai pewaris yang sekarang, melanjutkan tradisi tersebut dan menghasilkan keterlibatan aktif dengan masyarakat Yogyakarta.
Di bawah pemerintahannya, keraton tidak hanya berfungsi dalam kapasitas tradisional. Tetapi juga bertindak sebagai pusat kegiatan seniman dan budayawan, memperkuat posisi keraton sebagai pusat budaya Jawa.
Keraton Sebagai Pusat Budaya
Bangunan Keraton tetap menjadi pusat kegiatan kebudayaan yang kaya, dengan berbagai upacara dan festival. Diselenggarakan secara teratur dalam semangat pelestarian dan promosi budaya. Keraton menyelenggarakan pertunjukan seni, seminar, dan pameran yang mencakup segala sesuatu dari tari wayang kulit hingga gamelan dan seni rupa.
Festival-festival seperti Sekaten, yang merayakan kelahiran Nabi Muhammad, biasanya diadakan di alun-alun dekat keraton. Dan melibatkan masyarakat yang luas dalam perayaan, menandakan hubungan yang erat antara keraton dan rakyat.
Keterlibatan keraton dalam kehidupan budaya masyarakat ini menunjukkan bahwa keraton tidak hanya menjadi tempat tinggal bagi raja dan keluarganya. Tetapi juga menjadi pusat aktivitas sosial dan budaya yang dinamis.
Kesimpulan
Keraton Yogyakarta adalah situs sejarah yang kaya dan berfungsi sebagai simbol dari kekuatan, tradisi, dan identitas Jawa. Dari awal berdirinya setelah Perjanjian Giyanti hingga menjadi pilar budaya dan spiritual dalam masyarakat modern, keraton telah mengalami banyak perubahan dan tantangan.
Melalui segala liku yang telah dilaluinya, keraton tidak hanya tetap relevan dalam konteks kemodernan. Tetapi juga menjadi jembatan antara tradisi dan inovasi dalam budaya Indonesia sebagai tempat yang memiliki makna historis yang mendalam. Keraton Yogyakarta akan terus menjadi sumber inspirasi bagi generasi mendatang dalam memahami akar budaya dan history bangsa.
Dengan mempertahankan warisan budaya ini, masyarakat Yogyakarta dan Indonesia secara keseluruhan dapat mengingat perjalanan panjang mereka. Dan melangkah ke masa depan dengan struktur budaya yang kuat dan berakar dalam sejarah.
Manfaatkan juga waktu anda untuk mengeksplor lebih banyak lagi menenai Sejarah Di Indonesia